Saturday, October 29, 2011

second time


                                               
                    (BUKAN) pembunuh

Aku menatap angkuh pada sebuah rumah yang ada didepanku. Lebih tepatnya, tatapan dendam. Aku memang berniat jahat. Aku benar-benar jahat, aku akan membunuh. Saat ini juga, seseorang yang sedang berada di dalam rumah ini.
Aku maju beberapa langkah. Meneliti sebentar apakah pakaian yang aku gunakan masuk dalam kriterianya. Aku memakai dress se-dengkul berwarna keunguan. Dia suka aku menggunakan dress berwarna ungu. Dia suka aku terlihat cantik dan menawan. Lalu, aku menekan  bel rumahnya. Terdengar teriakan dari dalam agar aku menunggu sampai dibuka kan pintu. Aku tersenyum, ini waktunya.
+++
Juni, 2010
Masih jelas dalam ingatan ku bagaimana kondisi ayah terakhir kali aku melihatnya. Lemah tak berdaya. Tubuhnya dipasangi banyak kabel kabel. Jantungnya di pompa dengan alat pemompa jantung. Dokter menghela napas beberapa kali, menyadari usahanya tidak akan berhasil. Sampai dokter memompa jantung ayah yang ketiga kalinya, ia menyerah. Jantung ayah tak juga berdetak. Dokter menggelengkan kepalanya dan menyuruh suster melepas semua kabel yang menempel pada tubuh ayah.
Dari luar kamar, aku dapat melihat betapa tak kuasa nya ayah. Ia sudah tidak sanggup lagi. Dia sudah terlalu letih. Dia sudah terlalu letih membela kebenaran. Di sudah terlalu tua untuk memikirkan bagaimana memecahkan masalah orang lain secara adil dan jujur. Ayah sudah tak sanggup menjadi hakim.
+++



Tak lama ia membukakan pintu. Ia tersenyum manis.
“Hai, tumben sekali kau menemuiku. Kau cantik sekali,” ia mengecup pipiku sebentar lalu menggandengku masuk. Aku tak berbuat apa-apa. Benar, setiap saat di depannya aku tak bisa berbuat apa-apa.
“Kau mau makan malam disini? Aku baru saja membuat pasta. Kesukaan mu. Sepertinya kita memang jodoh, buktinya, aku ingin sekali membuat pasta dan ternyata kau datang,” ia melepas clemek dan menaruhnya di meja tak jauh dari tempat aku duduk. Ia menarik ku ke meja makan dan mempersilahkanku duduk.
+++
Juli, 2010
Sebulan setelah ayah meninggal, aku baru menyadari  bahwa ayah telah dibunuh. Aku yakin Ayah telah dibunuh. Aku menemui pengacara pribadi ayahku yang mengurus semua ini, berharap ia dapat membantu ku.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tau apa yang menyebabkan ayah mu meninggal. Ayah mu hanya dinyatakan meninggal karena penyakit jantung,” ujar pengacara pribadi  ayah dengan wajah yang miris.
“Tapi, aku tau benar ayah tak punya dan tak pernah menderita penyakit jantung. Apa tak ada bukti kecil sedikit pun? Sidik jari atau apa?” aku mencengkram lengan pengacara itu. Berharap ia tak akan menyerah.
“Tak ada. Sedikit pun. Maaf kan aku.”
Aku terduduk lesu di bangku ayah. Aku yakin ayah tak mungkin meninggal karena penyakit jantung. Ah, itu pasti alasan klasik orang-orang kedokteran karena tidak bisa memberikan alasan lain mengapa ayah ku –secara mendadak- meninggal. Aku meraih foto yang tergeletak begitu saja di meja ayah. Ada aku, Ayah dan Ibu di foto itu. Aku tersenyum. Kemudian, tertawa sangat keras. Benar-benar membahana sampai orang-orang menghampiri ku dan memeluk ku. Aku tetap tertawa sembari mengepal tanganku.
+++
 “Oh iya, aku turut berduka atas kematian ayahmu setahun yang lalu. Aku benar-benar minta maaf, aku tak hadir saat pemakaman. Aku tidak enak, sebagai sekretaris ayahmu aku merasa sangat tidak sopan,” ia tertawa kecil. “Kau tau kan, aku sibuk sekali.”
Aku hanya mengangguk tetapi mata ku memperhatikan betul setiap gerak-gerik nya. Bagaimana ia menyiapkan piring di meja. Menaruh pasta nya dalam piring ku. Dan menaruh serbet pada pangkuan ku.
“Kau tau, kau adalah yang terbaik yang pernah aku temukan setahun belakangan ini. Aku benar-benar mencintai mu,” katanya kemudian mengecup puncak kepala ku.
Aku merasa geli. Aku hanya menyinggungkan senyuman singkat penuh arti. Dia kembali ke tempat duduk nya dan menaruh serbet dalam pangkuannya.
“Kau, nikmati lah makanan ini,” kata ku dengan senyuman terbaik ku.
+++
Agustus, 2010
“Apa kau yakin dia ini gila?” laki-laki itu mencondongkan wajahnya ke wajah ku. Ia mengibas-ngibaskan tangan nya di depan wajah ku.
“Tentu saja. Kau bisa lihat sekarang kan? Biar dia jadi urusan ku. Ah, aku tak tahan melihat anak belia ini begitu tertekan,” seorang wanita mengusap rambut ku dengan lembut, kemudian mengecup puncak kepala ku.
“Sudah biarlah. Paling terpenting kita telah membunuh ayah nya. Kita bersenang-senang sekarang. Aku sudah menerima transfer uang dari musuh ayah nya itu,” ujar laki-laki itu dengan tampang meremehkan ke arah ku. Aku hanya diam dan hanya bisa melirik sekilas.
“Ah iya! Kasihan ya, orang baik tidak selalu bernasib baik. Ayo kita pergi,”
Wanita dan laki-laki itu meninggalkan aku sendiri dan mengunci pintu. Aku tak berdaya karena tangan dan kaki ku di ikat. Aku juga tidak tau mengapa mereka mengikat ku padahal aku hanya tertawa. mungkin, mereka  -yang mengikat ku seperti ini- tidak menyukai cara ku tertawa atau entah lah aku tak tau.
+++
“ Kau tak akan meninggalkan ku kan? Kau sudah ditakdirkan untuk ku. Kau tidak bisa keman-mana,” kata perempuan itu bersungguh-sungguh. Aku hanya menikmati pasta yang di buat nya. pasta yang menurutku paling tidak enak dibandingkan pasta yang pernah aku rasakan dulu.
“Aku tak akan kemana-mana. Ah, betapa beruntungnya aku memiliki mu yang sangat cantik dan sangat baik,” oceh nya lagi.
Aku tersenyum  “Aku rasa kau tak tau betapa baik nya aku.”
Dia hanya menatap ku dalam-dalam. Aku yakin dia tidak mengerti maksud perkataanku.
Oh ya, aku belum perkenal kan, seseorang yang sedang menyantap pasta bersama ku ini adalah pembunuh ayah. Seorang perempuan cantik, sekretaris yang paling ayah percayai. Seseorang yang dengan senang hati menaruh racun pada gelas ayah sampai Ayah tak sadar bahwa ia telah meminum minuman dengan rasa racun. Seorang lesbian. Aku rela berkepribadian ganda untuk membalas dendam ayah. Aku akan membunuhnya. Sampai ia lemah tak berdaya.
Setelah kami menghabiskan pastanya, ia kembali ke dapur untuk mengambil dessert yang kata nya telah ia buat. Cih, rasanya aku ingin cepat-cepat membunuhnya. Selama ia pergi ke dapur, aku memasukkan cairan yang aku dapat –secara sembunyi- dari lab tempat dulu aku tinggal. Ia kembali dengan pudding coklat yang dihias begitu cantik. Lagi, aku tersenyum. Ia memotong dan menaruh beberapa ke piring ku. Kemudian aku memakan pudding. Aku menunggu saat-saat dia meminum minumannya.
“Enak kan?” tanya nya. Dia meraih gelas nya dan menegak minumannya. AH! Akhirnya!
Tak lama ia mengipas-ngipas dirinya sendiri dengan tangannya. Seperti nya ia merasa kepanasan. Dalam hati aku tertawa, aku yakin cairan itu bereaksi secara cepat.
“Aku seperti tercekik,” katanya sambil memegangi lehernya. Aku tersenyum. Menyaksikan tiap menit kematiannya.
“Akhir nya kau tau rasanya menegak minuman dengan rasa racun. Bagaimana rasanya? Apa Ayah merasakan hal yang sama?” tanya ku dengan senyuman sinis. Alis perempuan itu menyatu, tak mengerti.
“AH! Kau mau membunuh ku? Sial!” teriak nya.
Aku bangkit dari kursiku dan merapikan dress ku yang agak lecek. “Sebelumnya aku hanya menuangkan sedikit. Tapi, kurasa sangat mubazir kalau tidak di habiskan.”
“Kau!” ia meraih garpu yang berada di dekat nnya dan mencoba melempar kan kevarah ku. Alih-alih mencelaki ku, ia malah terduduk lesu tak berdaya sambil memegangi lehernya.
“Sudah aku bilang aku tak sebaik yang kau kira, sayang.”
Aku pergi. Ia berteriak memanggilku dan mengutukku. Percuma, lima menit lagi dia akan mati. Kutukannya tak berguna. Aku kini bisa tidur tenang. Yah, walaupun aku tau Ayah harus menunggu satu tahun agar aku memenuhi janji ku iniss. Tapi, aku yakin, sangat yakin, Ayah pasti bangga.

+++
“Seorang gadis bernama Luna Adhikarya, yang juga di kenal sebagai anak dari seorang hakim terkenal, telah dinyatakan hilang dari Rumah Sakit Jiwa. Gadis ini telah dinyatakan positif gila setelah kematian ayah nya yang begitu tiba-tiba. Berikut ciri-ciri gadis ini……”
 Koran Jakarta, Desember 2010

Friday, October 7, 2011

first short story


                                    DUA KEPING

Aku dapat melihat sinar keceriaan di wajah sahabatku lagi. Dari cara ia menjawab telponnya sekarang ini, menunjukkan betapa bahagianya ia. Secercah senyuman yang menghangatkan ku saat ini. Meskipun, senyuman itu juga yang membuat aku lupa akan sebenarnya diriku. Menghilangkan harga diri ku. Melupakan sahabat ku dan membentuk diriku manjadi seseorang yang jahat. Jahat sekali. Tapi, kini, aku lega melihat senyuman itu telah kembali.
“Siapa?” Tanya ku berbisik. Sedikit ingin tahu siapa yang sedang menelfonnya.
Mey tersenyum ke arah ku lalu, ia menjawab dengan nada suara pelan, “Adit.”
Aku membulatkan mulutku bertanda aku mengerti. Aku tersenyum melihatnya. Sesekali Mey menatap ku sambil menekan telunjuk di depan mulutnya menyuruh ku untuk tidak berbicara. Aku sedikit terkekeh. Sahabat ku jatuh cinta lagi.
+++
Aku mencoba melirik ke arah laki-laki yang ada disebelahku ini. Keadaan seperti ini memang benar-benar romantis. Tuhan, ternyata apa yang terjadi di drama romantis yang sering aku tonton terjadi juga padaku saat ini. Aku memanfaatkan situasi ini untuk terus melirik kearahnya. Sebenarnya aku mengenal laki-laki disampingku. Ia adalah adik kelas ku di sekolah. Dia juga teman sekelas sahabat ku, Mey. Aku dan Mey memang berbeda satu tingkatan kelas. Ini di karenakan aku lebih dahulu masuk sekolah dari pada Mey, padahal usia kami sama.
Entah apa yang sedang ia lakukan di halte bis ini. Setau ku ia selalu membawa motornya kemana pun ia pergi. Bagaimana aku bisa tau? Tentu saja aku tau. Aku seorang mata-mata yang sangat baik. Sebenarnya, aku yakin laki-laki ini mengetahui kalau aku terus melirik ke arahnya.
Ayo dong, ajak ngobrol Jane ayo Jane. Desak ku pada diriku sendiri. Aku takut laki-laki ini menganggap ku sok kenal meskipun sebenarnya aku mengenalnya secara diam-diam.
“Kak, sedang menunggu bis?” tanyanya padaku. Sepertinya ia juga merasakan apa yang aku rasakan. Dari pada hanya memandang jalan raya yang membosankan, lebih baik mengobrol sebentar. Lagipula, setelah bus datang dan masing-masing dari kita pulang kerumah, percakapan itu hanya percakapan basi.
“Iya nih, Dit. Aku juga heran kenapa bis yang biasa aku tumpangi belum datang. Kira-kira kenapa ya, Dit?” sedetik kemudian aku memaki diriku sendiri dalam hati. Aku terlihat seperti perempuan yang sok kenal.
“Kakak, tau nama saya? Kok?” wajahnya agak heran dan tentu saja wajah ku tiba-tiba kaku. Astaga, bagaimana aku bisa menjelaskannya. Sebelumnya, aku tak pernah mengobrol sedikit pun dengannya. Aku juga tak ikut dalam organisasi kesiswaan yang mengurus masa orentasinya.
“Ah! Kamu sekelas sama Mey kan?” Tanya ku mengalihkan pembicaraan.
“Oh, Meylin? Iya sekelas,” dahi Adit mengerut tanda ia tambah tak mengerti.
“Aku sahabatnya Meylin dan ia bilang…” aku mulai berfikir, “Mey bilang ia suka sama kamu. Hehe…” bodohnya aku. Meylin tak pernah bilang seperti itu padaku. Memang Mey pernah mengatakan, Adit itu menarik tapi bukan suka.
Tiba-tiba ia tersenyum, memamerkan deretan giginya yang rapi dan putih. “Hah? Oh iya ka,” ia mengangguk. Aku tak mengerti dengan anggukannya, menyatakan ia mengerti atau malu.
“Biasanya aku lihat kau membawa motor mu. Seperti nya hari ini tidak?” tanyaku lagi. Seketika aku tersadar dengan pertanyaan ku sendiri. Ini sama saja, aku menunjukkan bahwa aku terus mengikutinya.
“Motor ku sedang di bengkel. Biasa lah,” jawab nya tanpa membahas pertanyaan janggal ku. Aku menghela nafas lega. Bodoh! Bodoh sekali aku!
“Kamu naik bis tujuan mana?”
“Aku di jemput kak. Hari ini ada les. Tapi, nggak tau nih jemputan nya belum dateng.”
Aku hanya mengangguk mengerti. Sebelum aku bertanya sesuatu lagi dengannya, bis yang aku tumpangi datang. Sial! Kenapa tidak sedikit lebih lama bus itu datang.
“Oh, Dit, Bis nya udah dateng. Lain kali kita ngobrol lagi ya,” kata ku sambil tersenyum, padahal dalam hati, aku mengumpat bis itu mati-matian.
“Iya kak. Oh ya, thanks ya udah ngasih tau kalau Mey suka sama aku.”
Aku terdiam sebentar. Apa maksud dari terima kasihnya. Apa mungkin Adit juga… “Sama-sama,” Jawab ku akhirnya.
+++
“Hah! kau gila!” seru Mey sengit sesaat setelah aku menceritakan kejadian dengan Adit di halte bis. Ia menyentuh keningku untuk memastikan aku baik-baik saja. Merasakan keningku yang tidak panas dan melihat kondisi ku sehat walafiat, Mey malah menoyor kepalaku.
“Bodoh! Aku sial! Besok, cerita ini pasti sudah menyebar.”
Aku mengelus kepala ku. “Santai Mey. Aku cerita ke Adit kok dan disana nggak ada siapa siapa.”
“Kalau ada yang mendengar gimana? Aduh aku malu. Kalau…..” ucap Mey sambil mencoba mencari kejadian terburuk yang akan menimpanya esok hari.
Aku menepuk pipi Mey pelan. “Santai Mey. Slow~” kata ku tak acuh.
“Semua emang gara-gara Jane. Emang kau itu kakak kelas paling nggak bisa diandelin. Huh!” Mey keluar dari kamar ku dan membanting pintu.
“Mey! Pintu ku rusak!” teriak ku. Aku tersenyum nakal. Mey ini kalau sedang ngmabek pasti menakutkan, tapi besok pagi bisa bisanya ia kembali manis seperti tidak terjadi apa-apa.
+++
            Aku terduduk terpatung. Berita yang baru saja aku dapatkan lebih buruk dari pada nilai metematika ku yang jelek. Lebih buruk dari berita bahwa aku telah ketinggalan gosip terpanas disekolah ku. Mey, baru saja mengirim pesan singkat padaku. Di sms itu tertulis jelas dengan huruf yang dibesarkan, bahwa Adit mengajak Mey bertemu di taman dekat sekolah setelah pulang sekolah. Sialnya, Mey juga meminta aku ikut dengannnya. Setidaknya aku bisa menjelaskan maksud dari kata-kata ku kemarin.
Aku merasa perasaan ku tak enak. Sebenarnya apa yang ingin Adit bicarakan dengan Mey. Apa ia akan mentertawakan Mey atau ia --yang menurutku lebih buruk lagi-- apa Adit akan mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya pada Mey.
            Tiba-tiba, ucapan terima kasih Adit kemarin membuat aku takut. Apa mungkin Adit juga memiliki perasaan yang sama dengan Mey.
+++
“Jadi sebenernya Dit, aku nggak bermaksud malu-malu in Mey di depan kamu. Soal kata-kata ku yang kemaren….” Aku terdiam. Adit hanya tersenyum sedangkan Mey yang ada disampingku terus menggandeng tanganku.
“Sebaliknya kak, aku ingin berterimakasih, karena setelah lama, aku tau perasaan Mey yang sebenarnya. Aku juga sama seperti Mey. Kita punya perasaan yang sama,” Adit menepuk pundak ku pelan. Aku tak mengerti. Apa maksud dari ‘kita punya perasaan yang sama’.
“Sekarang, kebetulan juga ada kak Jane, aku sayang sama kamu, Mey,” Adit meraih lengan Mey. Aku dan Mey kontan berpandangan. Ini jauh dari apa dugaan ku sebelumnya. Mey melepaskan lenganku dan menatap wajah Adit.
“Kau sedang berbohong, Dit?” Tanya Mey tak percaya. Aku juga sangat tidak percaya mengapa menjadi seperti ini.
“Iya Mey. Aku bersungguh-sungguh.”
Mungkin saat ini, mulutku sudah setengah terbuka dan mataku membulat. Seorang Adit yang dengan susah payah aku simpan dalam hati, kini malah menjadi milik orang lain dengan bantuan ku sendiri. Luar biasa.
“Ah, aku tak mau menganggu,” aku menunduk dan mengumpulkan tenaga agar air mata ku ini tak jatuh. “Good luck,” aku menepuk bahu Adit.
Aku berjalan menjauh dari mereka. Setelah agak jauh, aku menoleh melihat mereka berdua. Sepertinya, mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Aku jadi teringat. Aku pernah membaca sebuah buku yang mengatakan bahwa mencintai seseorang dengan cara sembunyi-sembunyi memang sangat menyakitkan. Lebih sangat menyakitkan jika seseorang yang kau cintai secara terang-terangan memilih orang lain.
Ralat, bukan orang lain tapi sahabat mu sendiri. Aku menutup wajah ku dengan ke dua telapak tangan. Tahan Jane, jangan Jane, jangan menangis.
+++
Tak terasa sudah hampir tiga bulan hubungan Mey dan Adit berjalan. Selama itu pula, aku semakin menanam nama Adit jauh didalam hati ku. Kini, aku sudah terbiasa melihat Adit dan Mey yang semakin akrab. Semakin ahli juga menutupi air mataku yang tiba-tiba saja ingin keluar. Atau mendengar keluh kesah Mey tentang Adit yang seperti ini, Adit yang seperti itu. Lambat laun, aku tau semua tentang Adit dari Mey.
Suatu hari, aku berbicara empat mata dengan Adit di sebuah cafe. Tentu saja ini atas permintaan Mey. Sebenarnya aku tak mau, karena ini sama saja membuat diriku hancur sekali lagi. Aku yang membuat mereka bersama dan aku juga yang menyatukan mereka saat mereka bertengkar. Terlalu baik kah aku? Apa saat ini aku bisa di sebut malaikat?
“Jadi, Dit, Mey tuh mau nya begitu. Sebenarnya Mey ingin masalah ini di bicarakan dengan kamu saja, tapi dia takut. Aku nggak ngerti kenapa dia takut,” kata ku setelah aku menjelaskan masalah yang aku dengar dari Mey. Adit hanya mengangguk-ngangguk  mengerti.
“Iya, terima kasih banget ya kak, eh, Jane,” aku memang menyuruhnya tidak memanggil ku dengan sebutan ‘kak’ . Kesannya aku terlihat lebih tua darinya. Padahal, usia kami sama.
“Sama-sama,” aku tersenyum dan ia membalas senyuman ku. Andai saja aku dan Adit yang menjadi sepasang kekasih, pasti senyuman itu penuh arti untuk ku.
“Oh ya, abis ini kita  mau kemana?” aku terhenyak. kita? Maksudnya aku dan Adit?
“Mmmm, aku ingin membeli sepatu di toko sport di dekat sini,” aku meneguk jus semangka yang aku beli untuk menutupi keterkejutan ku.
“Dimana? Biar gue yang anter. Gratis. Hahaha….” Aku tertawa renyah. Tuhan, tidak apa kan kalau sekarang ini aku berbunga-bunga. Tak jahat kan, kalau Adit-nya Mey aku pinjam sebentar?
+++
Setelah Adit mengantar ku melihat lihat sepatu yang aku inginkan, aku semakin akrab dengannya. Sesekali, kami sepakat untuk pergi ke suatu tempat yang menjual sepatu-sepatu murah. Tentu saja tanpa sepengetahuan Mey. Belakangan ini, Mey mulai cemburu padaku. Mungkin karena obrolan ku dengan Adit yang tiba-tiba saja searah, Mey merasa tak di acuhkan.
Ternyata kata-kata ‘kalau belum ada janur kuning sih masih sah-sah saja’ itu telah aku lakukan. Orang yang menikah saja masih bisa bercerai apalagi yang baru pacaran. Salah kah aku berfikiran seperti ini? Tentu saja tidak. Aku tau, aku telah jahat kepada Mey. Tapi, Adit juga setuju-setuju saja. Hubungan kita hanya akrab, tak lebih. Menurut Adit seperti itu, tapi menurutku, aku dan Adit sudah seperti ‘teman tapi mesra’. Adit memang milik Mey, tapi tak ada yang tahu kalau setengah hati Adit milikku, kan?
Adit sigap menolongku, selagi ia bisa. Dengan alibi yang sangat simple, aku menyuruh Adit menelfon karena aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Aku memang berbohong, Sebenarnya aku ingin mendengar suara Adit sebelum aku tidur. Tentang Mey, ah sudahlah, masalah Mey belakangan.

+++
Jantung ku berdetak tak karuan saat Adit mengatakan ia suka denganku. Ia memang tak menanyakan apakah aku ingin menjadi pacarnya atau tidak. Mendengarnya berbicara seperti itu, aku tersenyum lebar. Tapi, Aku tak yakin dengan hubungan ku dan Adit selanjutnya. Seluruh siswa di sekolah, mengetahui pacar Adit itu Mey bukan Jane. Tidak ada berita juga Adit memiliki ‘teman tapi mesra’ bernama Jane.
Adit juga mengatakan, biar hubungan kami hanya kami yang tau. Sejalannya saja, yang penting kita sama-sama tau kita saling suka. Aku mengiyakan perkataan Adit. Kita saling suka, apa mungkin bisa memungkirinya. Salah ku lagi? salahkan Mey. kenapa ia tak menjaga Adit dengan benar.
Masa-masa ku bersama Adit sudah hampir tiga bulan. Selama itu pula aku secara sembunyi-sembunyi bertemu dengan Adit. Kadar Mey datang kerumah ku juga semakin sering. Ia terus-terusan cerita tentang Adit yang semakin berubah. Lebih jarang punya waktu untuknya.
Biarlah, aku sedang menikmati masa-masa rahasia ku dengan Adit. Untungnya aku sedang bahagia, kalau tidak Mey pasti sudah ku usir keluar rumah.
Saat di depan Mey, aku dan Adit saling menjaga jarak, takut-takut Mey semakin curiga. Aku mungkin bisa di sebut selingkuhan Adit. Tapi siapa sih yang tidak mau dekat dengan seseorang yang sudah lama di cintai secara sembunyi-sembunyi. Dulu, bisa bertatap muka dengan Adit saja aku sudah sangat senang dan sekarang haruskah aku merelakan kebahagian ku begitu saja? Tentu saja tidak. Mey bisa cari laki-laki lain karena Mey cukup terkenal di kalangan seangkatannya. Sedang kan aku hanya perempuan biasa yang tidak terkenal.
Mey memang sangat baik. Hanya saja nasib nya yang tidak baik. Ia bisa bersahabat dengan ku, seseorang yang menusuk nya dari belakang. Egois kah aku? Tentu saja. Sangat egois.
+++
Belum lama aku merasa di atas roda kehidupan. Lagi, aku harus terhempas jatuh ke bawah. Roda memang selalu berputar. Kehidupan juga selalu berputar. Aku tak selamanya memiliki kebahagian dengan Adit. Sepertinya, aku memang menjadi yang kedua bagi Adit. Di atas segala waktu yang kami lewati bersama, nama Mey tetap mennjadi nomor pertama di hati Adit. Percayalah, karena aku mendapat buktinya dengan sangat baik.
Hari itu, aku dan Mey tengah pulang bersama. Aku dan Mey berjalan beriringan. Ketika kami sedang menyebrang, tiba-tiba sebuah mobil datang menghampiri kami dengan kecepatan tinggi. Aku dan Mey tak tau ada mobil yang menghampiri. Kami berdua terpatung, pasrah apa yang akan terjadi selanjutnya.         
Sejurus kemudian, aku merasa seseorang mendorong ku ke sisi jalan dan menyelamatkan ku. Aku tersungkur jatuh dan aku merasakan siku ku terkilir. Saat aku menoleh untuk melihat siapa yang mendorongku, aku melihat Adit sedang memeluk Mey erat. Aku melihat sekeliling. Tak mungkin Adit mendorong ku dan memeluk Mey erat seperti itu. Tapi, aku tak melihat siapa-siapa di samping ku. Siswa-siswi yang kebetulan melihat kejadian ini hanya diam di tempat. Mungkin sama terkejutnya dengan ku.
Beberapa orang membantu ku berdiri dan mengelus-ngelus pundak ku untuk menenangkan hati ku. seseorang memeluk ku ketika aku mulai menangis dan mengelap siku ku dengan tisu basah. Aku bukan menangis karena siku ku yang terluka. Aku menangis karena aku tau yang sebenarnya. Benar, aku sadar. Kalau Adit memeluk ku, mungkin semua orang akan bertanya-tanya. Pacar Adit itu Mey bukan Jane. Ternyata, keadaan pun sudah menjelaskan. Entah, untuk keberapa kalinya, aku hancur.

Keesokan harinya, berita tentang Adit yang menyelamatkan Mey beredar cepat. Mey yang sudah sekelas dengan Adit kini semakin erat. Kalau Ada Adit pasti ada Mey. Aku lihat Adit juga bahagia saja. Mungkin karena terlalu senang. Sekedar menanyakan tentang keadaan ku akibat kecelakaan kemaren saja tidak. Sekedar sms saja tidak. Aku termenung. Apa sudah saatnya aku ‘mengembalikan’ Adit ke pemilik sah nya?
            +++
Semalaman suntuk, aku terus memikirkan apa yang sudah aku lakukan pada Mey. Aku terus mengingat keluh kesah Mey tentang Adit yang mungkin saja akibat dari ulahku. Sekilas tentang Mey yang tiba-tiba menangis sesegukan di kamarku. Aku mungkin sudah berubah menjadi monster yang siap memakan mangsanya.

Bodohnya, aku menyadari nya setelah aku jatuh ke dalam jurang kegelapan yang paling dalam. Aku yang membuat Adit dan Mey bersatu. Aku yang membantu mereka dalam masalah nya. Aku yang menjadi selingkuhan Adit. Aku yang membuat Mey dan Adit hampir putus. Akhirnya, aku yang menyatukan mereka lagi. Aku menekuk kedua kaki ku dan menangis. Haruskah? Harus sekarang aku akhiri kebahagiaanku?
+++
“Kita selesaikan saja permainan kita ini, Dit. Aku sudah bosan,” kataku pelan. Kami sedang berbicara empat mata di cafĂ© pertama kali kami mengobrol. Aku tak berani menatap wajahnya.
“Maksudnya? ” Adit menyentuh siku ku yang terluka. “Apa ini terlalu sakit? Kamu baik-baik saja kan?”
Aku menarik tangan ku kasar. “Aku ingin kita nggak usah berhubungan lagi,” Aku menghela nafas berat. “Mey.”
“Kenapa Mey?” tanyanya tak mengerti.
“Mey tetep nomor satu di hati mu.”
“Soal itu Jane, aku… minta maaf.”
Aku memainkan jari-jari ku menahan kesal. Dulu, ketika aku pikir aku ini selingkuhan, kata-kata Adit begitu menyalahkan pemikiran ku. Kini, kata-kata Adit juga-lah yang menyakini aku ini selingkuhan. Di samping semua itu, aku bersyukur aku bisa menikmati waktu yang sangat bahagia bersama Adit. Aku mungkin terlihat seperti remaja labil yang baru pertama kali jatuh cinta. Aku memang masih remaja dan sifat ku pun masih berubah-ubah.
Aku menghela nafas panjang. “Terimakasih ya dit. Good luck,” aku menepuk pundak Adit pelan dan berlalu.
Adit tak mengejar ku, mungkin ia juga menyadari kesalahannya. Sudah terlalu lama aku jahat terhadap sahabat ku sendiri. Sudah terlalu sering aku melihat Mey menangis padahal sebelum ia bersama Adit, ia paling anti dengan kata menangis.
Ternyata pemikiran ku salah selama ini. Adit memang milik Mey. Seberapa pun aku mencoba merebut nya, Adit tetap punya Mey. Sekeras apapun aku berusaha, sesuatu yang sebenarnya bukan milik ku pasti tidak akan jadi milik ku. Aku salah sangka, aku kira setengah hati Adit milik ku ternyata setitik pun tidak.
Aku menyeka air mata ku. Tahan Jane, jangan Jane, jangan menangis.
+++


huaaaaa ini cerpen pertama di blog. malu dikit nih ngga tau caranya pake blog huh. tapi comment yaaa bisa lewat twitter @isnitia. love and hug