DUA
KEPING
Aku
dapat melihat sinar keceriaan di wajah sahabatku lagi. Dari cara ia menjawab
telponnya sekarang ini, menunjukkan betapa bahagianya ia. Secercah senyuman
yang menghangatkan ku saat ini. Meskipun, senyuman itu juga yang membuat aku
lupa akan sebenarnya diriku. Menghilangkan harga diri ku. Melupakan sahabat ku
dan membentuk diriku manjadi seseorang yang jahat. Jahat sekali. Tapi, kini,
aku lega melihat senyuman itu telah kembali.
“Siapa?”
Tanya ku berbisik. Sedikit ingin tahu siapa yang sedang menelfonnya.
Mey
tersenyum ke arah ku lalu, ia menjawab dengan nada suara pelan, “Adit.”
Aku
membulatkan mulutku bertanda aku mengerti. Aku tersenyum melihatnya. Sesekali Mey
menatap ku sambil menekan telunjuk di depan mulutnya menyuruh ku untuk tidak berbicara.
Aku sedikit terkekeh. Sahabat ku jatuh cinta lagi.
+++
Aku
mencoba melirik ke arah laki-laki yang ada disebelahku ini. Keadaan seperti ini
memang benar-benar romantis. Tuhan, ternyata apa yang terjadi di drama romantis
yang sering aku tonton terjadi juga padaku saat ini. Aku memanfaatkan situasi
ini untuk terus melirik kearahnya. Sebenarnya aku mengenal laki-laki disampingku.
Ia adalah adik kelas ku di sekolah. Dia juga teman sekelas sahabat ku, Mey. Aku
dan Mey memang berbeda satu tingkatan kelas. Ini di karenakan aku lebih dahulu
masuk sekolah dari pada Mey, padahal usia kami sama.
Entah
apa yang sedang ia lakukan di halte bis ini. Setau ku ia selalu membawa
motornya kemana pun ia pergi. Bagaimana aku bisa tau? Tentu saja aku tau. Aku
seorang mata-mata yang sangat baik. Sebenarnya, aku yakin laki-laki ini
mengetahui kalau aku terus melirik ke arahnya.
Ayo dong, ajak ngobrol Jane ayo Jane.
Desak
ku pada diriku sendiri. Aku takut laki-laki ini menganggap ku sok kenal
meskipun sebenarnya aku mengenalnya secara diam-diam.
“Kak,
sedang menunggu bis?” tanyanya padaku. Sepertinya ia juga merasakan apa yang
aku rasakan. Dari pada hanya memandang jalan raya yang membosankan, lebih baik
mengobrol sebentar. Lagipula, setelah bus datang dan masing-masing dari kita
pulang kerumah, percakapan itu hanya percakapan basi.
“Iya
nih, Dit. Aku juga heran kenapa bis yang biasa aku tumpangi belum datang.
Kira-kira kenapa ya, Dit?” sedetik kemudian aku memaki diriku sendiri dalam
hati. Aku terlihat seperti perempuan yang sok kenal.
“Kakak,
tau nama saya? Kok?” wajahnya agak heran dan tentu saja wajah ku tiba-tiba
kaku. Astaga, bagaimana aku bisa menjelaskannya. Sebelumnya, aku tak pernah
mengobrol sedikit pun dengannya. Aku juga tak ikut dalam organisasi kesiswaan
yang mengurus masa orentasinya.
“Ah!
Kamu sekelas sama Mey kan?” Tanya ku mengalihkan pembicaraan.
“Oh,
Meylin? Iya sekelas,” dahi Adit mengerut tanda ia tambah tak mengerti.
“Aku
sahabatnya Meylin dan ia bilang…” aku mulai berfikir, “Mey bilang ia suka sama kamu.
Hehe…” bodohnya aku. Meylin tak pernah bilang seperti itu padaku. Memang Mey
pernah mengatakan, Adit itu menarik tapi bukan suka.
Tiba-tiba
ia tersenyum, memamerkan deretan giginya yang rapi dan putih. “Hah? Oh iya ka,”
ia mengangguk. Aku tak mengerti dengan anggukannya, menyatakan ia mengerti atau
malu.
“Biasanya
aku lihat kau membawa motor mu. Seperti nya hari ini tidak?” tanyaku lagi. Seketika
aku tersadar dengan pertanyaan ku sendiri. Ini sama saja, aku menunjukkan bahwa
aku terus mengikutinya.
“Motor
ku sedang di bengkel. Biasa lah,” jawab nya tanpa membahas pertanyaan janggal
ku. Aku menghela nafas lega. Bodoh! Bodoh sekali aku!
“Kamu
naik bis tujuan mana?”
“Aku
di jemput kak. Hari ini ada les. Tapi, nggak tau nih jemputan nya belum
dateng.”
Aku
hanya mengangguk mengerti. Sebelum aku bertanya sesuatu lagi dengannya, bis
yang aku tumpangi datang. Sial! Kenapa tidak sedikit lebih lama bus itu datang.
“Oh,
Dit, Bis nya udah dateng. Lain kali kita ngobrol lagi ya,” kata ku sambil
tersenyum, padahal dalam hati, aku mengumpat bis itu mati-matian.
“Iya
kak. Oh ya, thanks ya udah ngasih tau kalau Mey suka sama aku.”
Aku
terdiam sebentar. Apa maksud dari terima kasihnya. Apa mungkin Adit juga…
“Sama-sama,” Jawab ku akhirnya.
+++
“Hah!
kau gila!” seru Mey sengit sesaat setelah aku menceritakan kejadian dengan Adit
di halte bis. Ia menyentuh keningku untuk memastikan aku baik-baik saja.
Merasakan keningku yang tidak panas dan melihat kondisi ku sehat walafiat, Mey
malah menoyor kepalaku.
“Bodoh!
Aku sial! Besok, cerita ini pasti sudah menyebar.”
Aku
mengelus kepala ku. “Santai Mey. Aku cerita ke Adit kok dan disana nggak ada
siapa siapa.”
“Kalau
ada yang mendengar gimana? Aduh aku malu. Kalau…..” ucap Mey sambil mencoba mencari
kejadian terburuk yang akan menimpanya esok hari.
Aku
menepuk pipi Mey pelan. “Santai Mey. Slow~” kata ku tak acuh.
“Semua
emang gara-gara Jane. Emang kau itu kakak kelas paling nggak bisa diandelin.
Huh!” Mey keluar dari kamar ku dan membanting pintu.
“Mey!
Pintu ku rusak!” teriak ku. Aku tersenyum nakal. Mey ini kalau sedang ngmabek pasti
menakutkan, tapi besok pagi bisa bisanya ia kembali manis seperti tidak terjadi
apa-apa.
+++
Aku terduduk terpatung. Berita yang baru saja aku dapatkan
lebih buruk dari pada nilai metematika ku yang jelek. Lebih buruk dari berita
bahwa aku telah ketinggalan gosip terpanas disekolah ku. Mey, baru saja
mengirim pesan singkat padaku. Di sms itu tertulis jelas dengan huruf yang
dibesarkan, bahwa Adit mengajak Mey bertemu di taman dekat sekolah setelah
pulang sekolah. Sialnya, Mey juga meminta aku ikut dengannnya. Setidaknya aku
bisa menjelaskan maksud dari kata-kata ku kemarin.
Aku
merasa perasaan ku tak enak. Sebenarnya apa yang ingin Adit bicarakan dengan Mey.
Apa ia akan mentertawakan Mey atau ia --yang menurutku lebih buruk lagi-- apa Adit
akan mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya pada Mey.
Tiba-tiba, ucapan terima kasih Adit kemarin membuat aku
takut. Apa mungkin Adit juga memiliki perasaan yang sama dengan Mey.
+++
“Jadi
sebenernya Dit, aku nggak bermaksud malu-malu in Mey di depan kamu. Soal
kata-kata ku yang kemaren….” Aku terdiam. Adit hanya tersenyum sedangkan Mey
yang ada disampingku terus menggandeng tanganku.
“Sebaliknya
kak, aku ingin berterimakasih, karena setelah lama, aku tau perasaan Mey yang
sebenarnya. Aku juga sama seperti Mey. Kita punya perasaan yang sama,” Adit
menepuk pundak ku pelan. Aku tak mengerti. Apa maksud dari ‘kita punya perasaan
yang sama’.
“Sekarang,
kebetulan juga ada kak Jane, aku sayang sama kamu, Mey,” Adit meraih lengan Mey.
Aku dan Mey kontan berpandangan. Ini jauh dari apa dugaan ku sebelumnya. Mey
melepaskan lenganku dan menatap wajah Adit.
“Kau
sedang berbohong, Dit?” Tanya Mey tak percaya. Aku juga sangat tidak percaya
mengapa menjadi seperti ini.
“Iya
Mey. Aku bersungguh-sungguh.”
Mungkin
saat ini, mulutku sudah setengah terbuka dan mataku membulat. Seorang Adit yang
dengan susah payah aku simpan dalam hati, kini malah menjadi milik orang lain
dengan bantuan ku sendiri. Luar biasa.
“Ah,
aku tak mau menganggu,” aku menunduk dan mengumpulkan tenaga agar air mata ku
ini tak jatuh. “Good luck,” aku
menepuk bahu Adit.
Aku
berjalan menjauh dari mereka. Setelah agak jauh, aku menoleh melihat mereka berdua.
Sepertinya, mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Aku jadi teringat. Aku
pernah membaca sebuah buku yang mengatakan bahwa mencintai seseorang dengan
cara sembunyi-sembunyi memang sangat menyakitkan. Lebih sangat menyakitkan jika
seseorang yang kau cintai secara terang-terangan memilih orang lain.
Ralat,
bukan orang lain tapi sahabat mu sendiri. Aku menutup wajah ku dengan ke dua
telapak tangan. Tahan Jane, jangan Jane,
jangan menangis.
+++
Tak
terasa sudah hampir tiga bulan hubungan Mey dan Adit berjalan. Selama itu pula,
aku semakin menanam nama Adit jauh didalam hati ku. Kini, aku sudah terbiasa
melihat Adit dan Mey yang semakin akrab. Semakin ahli juga menutupi air mataku
yang tiba-tiba saja ingin keluar. Atau mendengar keluh kesah Mey tentang Adit
yang seperti ini, Adit yang seperti itu. Lambat laun, aku tau semua tentang
Adit dari Mey.
Suatu
hari, aku berbicara empat mata dengan Adit di sebuah cafe. Tentu saja ini atas
permintaan Mey. Sebenarnya aku tak mau, karena ini sama saja membuat diriku
hancur sekali lagi. Aku yang membuat mereka bersama dan aku juga yang
menyatukan mereka saat mereka bertengkar. Terlalu baik kah aku? Apa saat ini
aku bisa di sebut malaikat?
“Jadi,
Dit, Mey tuh mau nya begitu. Sebenarnya Mey ingin masalah ini di bicarakan
dengan kamu saja, tapi dia takut. Aku nggak ngerti kenapa dia takut,” kata ku
setelah aku menjelaskan masalah yang aku dengar dari Mey. Adit hanya
mengangguk-ngangguk mengerti.
“Iya,
terima kasih banget ya kak, eh, Jane,” aku memang menyuruhnya tidak memanggil
ku dengan sebutan ‘kak’ . Kesannya aku terlihat lebih tua darinya. Padahal,
usia kami sama.
“Sama-sama,”
aku tersenyum dan ia membalas senyuman ku. Andai saja aku dan Adit yang menjadi
sepasang kekasih, pasti senyuman itu penuh arti untuk ku.
“Oh
ya, abis ini kita mau kemana?” aku
terhenyak. kita? Maksudnya aku dan Adit?
“Mmmm,
aku ingin membeli sepatu di toko sport di dekat sini,” aku meneguk jus semangka
yang aku beli untuk menutupi keterkejutan ku.
“Dimana?
Biar gue yang anter. Gratis. Hahaha….” Aku tertawa renyah. Tuhan, tidak apa kan
kalau sekarang ini aku berbunga-bunga. Tak jahat kan, kalau Adit-nya Mey aku
pinjam sebentar?
+++
Setelah
Adit mengantar ku melihat lihat sepatu yang aku inginkan, aku semakin akrab dengannya.
Sesekali, kami sepakat untuk pergi ke suatu tempat yang menjual sepatu-sepatu
murah. Tentu saja tanpa sepengetahuan Mey. Belakangan ini, Mey mulai cemburu
padaku. Mungkin karena obrolan ku dengan Adit yang tiba-tiba saja searah, Mey
merasa tak di acuhkan.
Ternyata
kata-kata ‘kalau belum ada janur kuning
sih masih sah-sah saja’ itu telah aku lakukan. Orang yang menikah saja
masih bisa bercerai apalagi yang baru pacaran. Salah kah aku berfikiran seperti
ini? Tentu saja tidak. Aku tau, aku telah jahat kepada Mey. Tapi, Adit juga
setuju-setuju saja. Hubungan kita hanya akrab, tak lebih. Menurut Adit seperti
itu, tapi menurutku, aku dan Adit sudah seperti ‘teman tapi mesra’. Adit memang milik Mey, tapi tak ada yang tahu
kalau setengah hati Adit milikku, kan?
Adit
sigap menolongku, selagi ia bisa. Dengan alibi yang sangat simple, aku menyuruh
Adit menelfon karena aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Aku memang
berbohong, Sebenarnya aku ingin mendengar suara Adit sebelum aku tidur. Tentang
Mey, ah sudahlah, masalah Mey belakangan.
+++
Jantung
ku berdetak tak karuan saat Adit mengatakan ia suka denganku. Ia memang tak
menanyakan apakah aku ingin menjadi pacarnya atau tidak. Mendengarnya berbicara
seperti itu, aku tersenyum lebar. Tapi, Aku tak yakin dengan hubungan ku dan Adit
selanjutnya. Seluruh siswa di sekolah, mengetahui pacar Adit itu Mey bukan Jane.
Tidak ada berita juga Adit memiliki ‘teman
tapi mesra’ bernama Jane.
Adit
juga mengatakan, biar hubungan kami hanya kami yang tau. Sejalannya saja, yang
penting kita sama-sama tau kita saling suka. Aku mengiyakan perkataan Adit.
Kita saling suka, apa mungkin bisa memungkirinya. Salah ku lagi? salahkan Mey.
kenapa ia tak menjaga Adit dengan benar.
Masa-masa
ku bersama Adit sudah hampir tiga bulan. Selama itu pula aku secara
sembunyi-sembunyi bertemu dengan Adit. Kadar Mey datang kerumah ku juga semakin
sering. Ia terus-terusan cerita tentang Adit yang semakin berubah. Lebih jarang
punya waktu untuknya.
Biarlah,
aku sedang menikmati masa-masa rahasia ku dengan Adit. Untungnya aku sedang
bahagia, kalau tidak Mey pasti sudah ku usir keluar rumah.
Saat
di depan Mey, aku dan Adit saling menjaga jarak, takut-takut Mey semakin
curiga. Aku mungkin bisa di sebut selingkuhan Adit. Tapi siapa sih yang tidak
mau dekat dengan seseorang yang sudah lama di cintai secara sembunyi-sembunyi.
Dulu, bisa bertatap muka dengan Adit saja aku sudah sangat senang dan sekarang
haruskah aku merelakan kebahagian ku begitu saja? Tentu saja tidak. Mey bisa
cari laki-laki lain karena Mey cukup terkenal di kalangan seangkatannya. Sedang
kan aku hanya perempuan biasa yang tidak terkenal.
Mey
memang sangat baik. Hanya saja nasib nya yang tidak baik. Ia bisa bersahabat
dengan ku, seseorang yang menusuk nya dari belakang. Egois kah aku? Tentu saja.
Sangat egois.
+++
Belum
lama aku merasa di atas roda kehidupan. Lagi, aku harus terhempas jatuh ke
bawah. Roda memang selalu berputar. Kehidupan juga selalu berputar. Aku tak
selamanya memiliki kebahagian dengan Adit. Sepertinya, aku memang menjadi yang
kedua bagi Adit. Di atas segala waktu yang kami lewati bersama, nama Mey tetap
mennjadi nomor pertama di hati Adit. Percayalah, karena aku mendapat buktinya
dengan sangat baik.
Hari
itu, aku dan Mey tengah pulang bersama. Aku dan Mey berjalan beriringan. Ketika
kami sedang menyebrang, tiba-tiba sebuah mobil datang menghampiri kami dengan
kecepatan tinggi. Aku dan Mey tak tau ada mobil yang menghampiri. Kami berdua
terpatung, pasrah apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sejurus
kemudian, aku merasa seseorang mendorong ku ke sisi jalan dan menyelamatkan ku.
Aku tersungkur jatuh dan aku merasakan siku ku terkilir. Saat aku menoleh untuk
melihat siapa yang mendorongku, aku melihat Adit sedang memeluk Mey erat. Aku
melihat sekeliling. Tak mungkin Adit mendorong ku dan memeluk Mey erat seperti
itu. Tapi, aku tak melihat siapa-siapa di samping ku. Siswa-siswi yang
kebetulan melihat kejadian ini hanya diam di tempat. Mungkin sama terkejutnya
dengan ku.
Beberapa
orang membantu ku berdiri dan mengelus-ngelus pundak ku untuk menenangkan hati ku.
seseorang memeluk ku ketika aku mulai menangis dan mengelap siku ku dengan tisu
basah. Aku bukan menangis karena siku ku yang terluka. Aku menangis karena aku
tau yang sebenarnya. Benar, aku sadar. Kalau Adit memeluk ku, mungkin semua
orang akan bertanya-tanya. Pacar Adit itu Mey bukan Jane. Ternyata, keadaan pun
sudah menjelaskan. Entah, untuk keberapa kalinya, aku hancur.
Keesokan
harinya, berita tentang Adit yang menyelamatkan Mey beredar cepat. Mey yang
sudah sekelas dengan Adit kini semakin erat. Kalau Ada Adit pasti ada Mey. Aku
lihat Adit juga bahagia saja. Mungkin karena terlalu senang. Sekedar menanyakan
tentang keadaan ku akibat kecelakaan kemaren saja tidak. Sekedar sms saja
tidak. Aku termenung. Apa sudah saatnya aku ‘mengembalikan’ Adit ke pemilik sah
nya?
+++
Semalaman
suntuk, aku terus memikirkan apa yang sudah aku lakukan pada Mey. Aku terus
mengingat keluh kesah Mey tentang Adit yang mungkin saja akibat dari ulahku. Sekilas
tentang Mey yang tiba-tiba menangis sesegukan di kamarku. Aku mungkin sudah
berubah menjadi monster yang siap memakan mangsanya.
Bodohnya,
aku menyadari nya setelah aku jatuh ke dalam jurang kegelapan yang paling
dalam. Aku yang membuat Adit dan Mey bersatu. Aku yang membantu mereka dalam
masalah nya. Aku yang menjadi selingkuhan Adit. Aku yang membuat Mey dan Adit
hampir putus. Akhirnya, aku yang menyatukan mereka lagi. Aku menekuk kedua kaki
ku dan menangis. Haruskah? Harus sekarang aku akhiri kebahagiaanku?
+++
“Kita
selesaikan saja permainan kita ini, Dit. Aku sudah bosan,” kataku pelan. Kami
sedang berbicara empat mata di café pertama kali kami mengobrol. Aku tak berani
menatap wajahnya.
“Maksudnya?
” Adit menyentuh siku ku yang terluka. “Apa ini terlalu sakit? Kamu baik-baik saja
kan?”
Aku
menarik tangan ku kasar. “Aku ingin kita nggak usah berhubungan lagi,” Aku
menghela nafas berat. “Mey.”
“Kenapa
Mey?” tanyanya tak mengerti.
“Mey
tetep nomor satu di hati mu.”
“Soal
itu Jane, aku… minta maaf.”
Aku
memainkan jari-jari ku menahan kesal. Dulu, ketika aku pikir aku ini
selingkuhan, kata-kata Adit begitu menyalahkan pemikiran ku. Kini, kata-kata
Adit juga-lah yang menyakini aku ini selingkuhan. Di samping semua itu, aku
bersyukur aku bisa menikmati waktu yang sangat bahagia bersama Adit. Aku
mungkin terlihat seperti remaja labil yang baru pertama kali jatuh cinta. Aku
memang masih remaja dan sifat ku pun masih berubah-ubah.
Aku
menghela nafas panjang. “Terimakasih ya dit. Good luck,” aku menepuk pundak Adit pelan dan berlalu.
Adit
tak mengejar ku, mungkin ia juga menyadari kesalahannya. Sudah terlalu lama aku
jahat terhadap sahabat ku sendiri. Sudah terlalu sering aku melihat Mey
menangis padahal sebelum ia bersama Adit, ia paling anti dengan kata menangis.
Ternyata
pemikiran ku salah selama ini. Adit memang milik Mey. Seberapa pun aku mencoba
merebut nya, Adit tetap punya Mey. Sekeras apapun aku berusaha, sesuatu yang
sebenarnya bukan milik ku pasti tidak akan jadi milik ku. Aku salah sangka, aku
kira setengah hati Adit milik ku ternyata setitik pun tidak.
Aku
menyeka air mata ku. Tahan Jane, jangan Jane,
jangan menangis.
+++
huaaaaa ini cerpen pertama di blog. malu dikit nih ngga tau caranya pake blog huh. tapi comment yaaa bisa lewat twitter @isnitia. love and hug
No comments:
Post a Comment