Saturday, October 29, 2011

second time


                                               
                    (BUKAN) pembunuh

Aku menatap angkuh pada sebuah rumah yang ada didepanku. Lebih tepatnya, tatapan dendam. Aku memang berniat jahat. Aku benar-benar jahat, aku akan membunuh. Saat ini juga, seseorang yang sedang berada di dalam rumah ini.
Aku maju beberapa langkah. Meneliti sebentar apakah pakaian yang aku gunakan masuk dalam kriterianya. Aku memakai dress se-dengkul berwarna keunguan. Dia suka aku menggunakan dress berwarna ungu. Dia suka aku terlihat cantik dan menawan. Lalu, aku menekan  bel rumahnya. Terdengar teriakan dari dalam agar aku menunggu sampai dibuka kan pintu. Aku tersenyum, ini waktunya.
+++
Juni, 2010
Masih jelas dalam ingatan ku bagaimana kondisi ayah terakhir kali aku melihatnya. Lemah tak berdaya. Tubuhnya dipasangi banyak kabel kabel. Jantungnya di pompa dengan alat pemompa jantung. Dokter menghela napas beberapa kali, menyadari usahanya tidak akan berhasil. Sampai dokter memompa jantung ayah yang ketiga kalinya, ia menyerah. Jantung ayah tak juga berdetak. Dokter menggelengkan kepalanya dan menyuruh suster melepas semua kabel yang menempel pada tubuh ayah.
Dari luar kamar, aku dapat melihat betapa tak kuasa nya ayah. Ia sudah tidak sanggup lagi. Dia sudah terlalu letih. Dia sudah terlalu letih membela kebenaran. Di sudah terlalu tua untuk memikirkan bagaimana memecahkan masalah orang lain secara adil dan jujur. Ayah sudah tak sanggup menjadi hakim.
+++



Tak lama ia membukakan pintu. Ia tersenyum manis.
“Hai, tumben sekali kau menemuiku. Kau cantik sekali,” ia mengecup pipiku sebentar lalu menggandengku masuk. Aku tak berbuat apa-apa. Benar, setiap saat di depannya aku tak bisa berbuat apa-apa.
“Kau mau makan malam disini? Aku baru saja membuat pasta. Kesukaan mu. Sepertinya kita memang jodoh, buktinya, aku ingin sekali membuat pasta dan ternyata kau datang,” ia melepas clemek dan menaruhnya di meja tak jauh dari tempat aku duduk. Ia menarik ku ke meja makan dan mempersilahkanku duduk.
+++
Juli, 2010
Sebulan setelah ayah meninggal, aku baru menyadari  bahwa ayah telah dibunuh. Aku yakin Ayah telah dibunuh. Aku menemui pengacara pribadi ayahku yang mengurus semua ini, berharap ia dapat membantu ku.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tau apa yang menyebabkan ayah mu meninggal. Ayah mu hanya dinyatakan meninggal karena penyakit jantung,” ujar pengacara pribadi  ayah dengan wajah yang miris.
“Tapi, aku tau benar ayah tak punya dan tak pernah menderita penyakit jantung. Apa tak ada bukti kecil sedikit pun? Sidik jari atau apa?” aku mencengkram lengan pengacara itu. Berharap ia tak akan menyerah.
“Tak ada. Sedikit pun. Maaf kan aku.”
Aku terduduk lesu di bangku ayah. Aku yakin ayah tak mungkin meninggal karena penyakit jantung. Ah, itu pasti alasan klasik orang-orang kedokteran karena tidak bisa memberikan alasan lain mengapa ayah ku –secara mendadak- meninggal. Aku meraih foto yang tergeletak begitu saja di meja ayah. Ada aku, Ayah dan Ibu di foto itu. Aku tersenyum. Kemudian, tertawa sangat keras. Benar-benar membahana sampai orang-orang menghampiri ku dan memeluk ku. Aku tetap tertawa sembari mengepal tanganku.
+++
 “Oh iya, aku turut berduka atas kematian ayahmu setahun yang lalu. Aku benar-benar minta maaf, aku tak hadir saat pemakaman. Aku tidak enak, sebagai sekretaris ayahmu aku merasa sangat tidak sopan,” ia tertawa kecil. “Kau tau kan, aku sibuk sekali.”
Aku hanya mengangguk tetapi mata ku memperhatikan betul setiap gerak-gerik nya. Bagaimana ia menyiapkan piring di meja. Menaruh pasta nya dalam piring ku. Dan menaruh serbet pada pangkuan ku.
“Kau tau, kau adalah yang terbaik yang pernah aku temukan setahun belakangan ini. Aku benar-benar mencintai mu,” katanya kemudian mengecup puncak kepala ku.
Aku merasa geli. Aku hanya menyinggungkan senyuman singkat penuh arti. Dia kembali ke tempat duduk nya dan menaruh serbet dalam pangkuannya.
“Kau, nikmati lah makanan ini,” kata ku dengan senyuman terbaik ku.
+++
Agustus, 2010
“Apa kau yakin dia ini gila?” laki-laki itu mencondongkan wajahnya ke wajah ku. Ia mengibas-ngibaskan tangan nya di depan wajah ku.
“Tentu saja. Kau bisa lihat sekarang kan? Biar dia jadi urusan ku. Ah, aku tak tahan melihat anak belia ini begitu tertekan,” seorang wanita mengusap rambut ku dengan lembut, kemudian mengecup puncak kepala ku.
“Sudah biarlah. Paling terpenting kita telah membunuh ayah nya. Kita bersenang-senang sekarang. Aku sudah menerima transfer uang dari musuh ayah nya itu,” ujar laki-laki itu dengan tampang meremehkan ke arah ku. Aku hanya diam dan hanya bisa melirik sekilas.
“Ah iya! Kasihan ya, orang baik tidak selalu bernasib baik. Ayo kita pergi,”
Wanita dan laki-laki itu meninggalkan aku sendiri dan mengunci pintu. Aku tak berdaya karena tangan dan kaki ku di ikat. Aku juga tidak tau mengapa mereka mengikat ku padahal aku hanya tertawa. mungkin, mereka  -yang mengikat ku seperti ini- tidak menyukai cara ku tertawa atau entah lah aku tak tau.
+++
“ Kau tak akan meninggalkan ku kan? Kau sudah ditakdirkan untuk ku. Kau tidak bisa keman-mana,” kata perempuan itu bersungguh-sungguh. Aku hanya menikmati pasta yang di buat nya. pasta yang menurutku paling tidak enak dibandingkan pasta yang pernah aku rasakan dulu.
“Aku tak akan kemana-mana. Ah, betapa beruntungnya aku memiliki mu yang sangat cantik dan sangat baik,” oceh nya lagi.
Aku tersenyum  “Aku rasa kau tak tau betapa baik nya aku.”
Dia hanya menatap ku dalam-dalam. Aku yakin dia tidak mengerti maksud perkataanku.
Oh ya, aku belum perkenal kan, seseorang yang sedang menyantap pasta bersama ku ini adalah pembunuh ayah. Seorang perempuan cantik, sekretaris yang paling ayah percayai. Seseorang yang dengan senang hati menaruh racun pada gelas ayah sampai Ayah tak sadar bahwa ia telah meminum minuman dengan rasa racun. Seorang lesbian. Aku rela berkepribadian ganda untuk membalas dendam ayah. Aku akan membunuhnya. Sampai ia lemah tak berdaya.
Setelah kami menghabiskan pastanya, ia kembali ke dapur untuk mengambil dessert yang kata nya telah ia buat. Cih, rasanya aku ingin cepat-cepat membunuhnya. Selama ia pergi ke dapur, aku memasukkan cairan yang aku dapat –secara sembunyi- dari lab tempat dulu aku tinggal. Ia kembali dengan pudding coklat yang dihias begitu cantik. Lagi, aku tersenyum. Ia memotong dan menaruh beberapa ke piring ku. Kemudian aku memakan pudding. Aku menunggu saat-saat dia meminum minumannya.
“Enak kan?” tanya nya. Dia meraih gelas nya dan menegak minumannya. AH! Akhirnya!
Tak lama ia mengipas-ngipas dirinya sendiri dengan tangannya. Seperti nya ia merasa kepanasan. Dalam hati aku tertawa, aku yakin cairan itu bereaksi secara cepat.
“Aku seperti tercekik,” katanya sambil memegangi lehernya. Aku tersenyum. Menyaksikan tiap menit kematiannya.
“Akhir nya kau tau rasanya menegak minuman dengan rasa racun. Bagaimana rasanya? Apa Ayah merasakan hal yang sama?” tanya ku dengan senyuman sinis. Alis perempuan itu menyatu, tak mengerti.
“AH! Kau mau membunuh ku? Sial!” teriak nya.
Aku bangkit dari kursiku dan merapikan dress ku yang agak lecek. “Sebelumnya aku hanya menuangkan sedikit. Tapi, kurasa sangat mubazir kalau tidak di habiskan.”
“Kau!” ia meraih garpu yang berada di dekat nnya dan mencoba melempar kan kevarah ku. Alih-alih mencelaki ku, ia malah terduduk lesu tak berdaya sambil memegangi lehernya.
“Sudah aku bilang aku tak sebaik yang kau kira, sayang.”
Aku pergi. Ia berteriak memanggilku dan mengutukku. Percuma, lima menit lagi dia akan mati. Kutukannya tak berguna. Aku kini bisa tidur tenang. Yah, walaupun aku tau Ayah harus menunggu satu tahun agar aku memenuhi janji ku iniss. Tapi, aku yakin, sangat yakin, Ayah pasti bangga.

+++
“Seorang gadis bernama Luna Adhikarya, yang juga di kenal sebagai anak dari seorang hakim terkenal, telah dinyatakan hilang dari Rumah Sakit Jiwa. Gadis ini telah dinyatakan positif gila setelah kematian ayah nya yang begitu tiba-tiba. Berikut ciri-ciri gadis ini……”
 Koran Jakarta, Desember 2010

No comments:

Post a Comment